PANGANDARAN - Organisasi Masyarakat GRIB Jaya Kecamatan Sidamulih menggemakan suara keras terkait pengelolaan usaha wisata Banyu Urip yang diduga telah beroperasi tanpa izin resmi selama tujuh tahun. Usaha yang mencakup restoran, kolam renang, dan penginapan ini, yang dikelola oleh mantan Kapolsek Pangandaran, Suyadi, telah berulang kali mengabaikan kewajiban hukum dan berpotensi merugikan keuangan daerah dengan tidak memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). GRIB Jaya mendesak Pemerintah Kabupaten Pangandaran untuk mengambil tindakan tegas dan segera menutup usaha ini jika tidak segera memperbaiki kelengkapan izin yang diwajibkan.
Ketua PAC GRIB Jaya Sidamulih, Saepudin, yang akrab disapa Ujang Baja, dengan tegas menyatakan bahwa sudah saatnya pengelola Banyu Urip dipertanggungjawabkan atas pelanggaran berat ini. Selama tujuh tahun beroperasi, pengelola tidak hanya gagal melaporkan hasil retribusi tiket masuk yang seharusnya disetorkan ke PAD, tetapi juga bertindak seolah-olah berada di luar pengawasan dan peraturan pemerintah.
“Kami sudah mengajukan surat resmi yang meminta penutupan tempat ini. Selama tujuh tahun, pengelola tidak pernah memberikan kontribusi apa pun kepada PAD, meskipun mereka terus-menerus memungut retribusi dari wisatawan. Ini adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah harus bertindak tegas untuk menutup tempat ini,” kata Saepudin, Selasa (21/1/2025).
Masalah semakin memperburuk citra usaha wisata tersebut karena pengelola Banyu Urip juga memasang papan reklame tanpa izin resmi. Saepudin dengan jelas menilai bahwa kelalaian ini adalah bukti ketidakpatuhan pengelola terhadap aturan yang ada. “Ini bukan sekadar masalah retribusi, tapi soal kepatuhan terhadap aturan daerah. Papan reklame yang dipasang tanpa izin resmi semakin menunjukkan bahwa pengelola sengaja mengabaikan kewajiban mereka,” ucapnya.
Selain itu, Saepudin juga menyoroti masalah keselamatan yang tidak kalah serius. Kolam renang yang dikelola di lokasi tersebut tidak dilengkapi dengan rambu-rambu keselamatan yang seharusnya ada untuk memastikan keamanan pengunjung. “Ini bukan hanya soal izin, ini soal nyawa orang! Seharusnya ada rambu keselamatan dan izin penggunaan air tanah dari Kementerian ESDM, tetapi semuanya diabaikan. Apakah kita harus menunggu ada korban dulu baru tindakan dilakukan?” tegas Saepudin dengan nada penuh keprihatinan.
Kendati beredar informasi bahwa pengelola sudah mengajukan perizinan melalui sistem Online Single Submission (OSS), Saepudin menegaskan bahwa hal tersebut tidak cukup untuk dianggap sebagai penyelesaian masalah. Perizinan melalui OSS memang dapat mempermudah proses administratif, namun itu tidak menutup kenyataan bahwa pengelola masih belum memenuhi prosedur lengkap yang harus dilalui untuk mendapatkan izin sah dari pemerintah daerah.
“Proses OSS memang bisa mempermudah, tetapi pengelola tidak bisa hanya mengandalkan itu. Mereka harus memenuhi seluruh tahapan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran. OSS bukanlah solusi akhir, dan kami meminta pemerintah daerah untuk memastikan bahwa semua prosedur yang sah dilalui dengan benar,” lanjut Saepudin.
GRIB Jaya Sidamulih mendesak pemerintah untuk menutup usaha Banyu Urip sampai semua izin yang diperlukan diurus secara benar dan transparan. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini tidak hanya merugikan PAD, tetapi juga akan merusak citra pariwisata Pangandaran yang selama ini dikenal karena kepatuhannya terhadap aturan.
“Jangan biarkan usaha yang mengabaikan peraturan ini terus beroperasi. Jika pemerintah diam, maka kami akan terus melawan. Kami bukan hanya membela hak PAD, tetapi juga menjaga keselamatan dan kepatuhan terhadap hukum yang harus dijunjung tinggi di Kabupaten Pangandaran,” tutup Saepudin.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak pengelola Banyu Urip belum memberikan keterangan resmi terkait tuduhan pelanggaran perizinan yang saat ini sedang menjadi sorotan.(***)